Setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kembali berkunjung ke Sidoarjo Jawa Timur bahkan sempat berkantor tiga hari di sana, beberapa keputusan konkret diambil untuk mempercepat penanganan korban lumpur Lapindo Brantas. Yang terpenting adalah realisasi pembayaran ganti rugi seperti sudah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 dan itu sepenuhnya ditanggung oleh Lapindo. Pemerintah tidak lepas tangan karena akan menangani relokasi dan pembangunan kembali infrastruktur yang rusak. Di samping terus mengupayakan pembuangan lumpur dan penghentian luapan dengan berbagai cara.
Kendati sudah ada aturan tampaknya dalam pelaksanaan tak selancar yang dibayangkan. Ada jarak yang cukup lebar sehingga ribuan warga masyarakat yang kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan yang menjadi korban. Mereka pun ramai-ramai berunjuk rasa sampai ke Jakarta hingga akhirnya masalah ini dibahas di DPR yang kini berancang-ancang menggunakan hak interpelasi. Rupanya tekanan politik itu memberi dampak positif karena SBY menjadi lebih cepat bergerak. Diakui realisasi pembayaran ganti rugi oleh Lapindo lamban dan tidak sesuai dengan kesepakatan awal. Maka harus ada tekanan agar mereka segera menuntaskan.
Semula muncul wacana agar pemerintah memberikan dana talangan. Bahkan hal itu sudah bergulir di Senayan. Namun presiden berpendapat PT Lapindo masih mampu sehingga tak diperlukan dana talangan dari APBN itu. Rasanya juga menjadi kurang adil kalau sampai pemberian ganti rugi menggunakan anggaran pemerintah. Bukan kita tak peduli dengan nasib warga yang menjadi korban dan sudah menderita lebih setahun. Hanya saja kalau itu dilakukan seperti memberikan kesempatan bagi Lapindo milik keluarga Aburizal Bakrie lari dari tanggung jawab. Sementara kita mengetahui anggaran pemerintah pun makin terbatas.
Tepatlah kiranya apabila pemerintah mendesak Lapindo merealisasikan pembayaran ganti rugi. Dan setelah presiden berkoordinasi di sana, diputuskan percepatan pembayaran uang muka yang 20 persen mulai tanggal 1Juli hingga 14 September. Setelah itu yang 80 persen akan dibicarakan lebih lanjut. Memang harus diakui beban Lapindo sangat berat dan itu adalah risiko yang harus dihadapi. Dengan ketentuan baru itu maka perusahaan tersebut harus menyediakan dana sekurang-kurangnya Rp 100 miliar setiap minggu mengingat jumlah korban yang harus diberikan ganti rugi mencapai lebih 1.000 kepala keluarga (KK).
Kunjungan Presiden SBY kali ini merupakan pertaruhan terakhir. Apabila keputusannya berjalan baik maka akan memperoleh nilai positif dan pemerintah kuat ketika nanti menghadapi interpelasi DPR. Namun apabila sudah diupayakan sedemikian rupa tetap seret berarti benar-benar keterlaluan. Dalam hal ini komitmen Lapindo terutama keluarga Bakrie yang menjadi pemiliknya patut dipertanyakan. Di samping kelambanan pemerintah memperbaiki infrastruktur yang rusak seperti jalan tol. Sejauh ini kita masih berfikir positif dan yakin mereka akan mampu menyelesaikan kewajibannya itu. Persoalan administratif tak semestinya menjadi kendala.
Pemerintah tetap perlu menyiapkan alternatif penyediaan dana talangan dari APBN. Namun diingatkan itu adalah pilihan terakhir apabila situasi sudah benar-benar memaksa. Yang lebih dahulu dilakukan adalah memaksa PT Lapindo untuk memenuhi kewajibannya karena cash flow nya memungkinkan. Kita perlu mewaspadai agar masalah ini tak bergeser menjadi urusan politikus di DPR. Karena bisa jadi ada penumpang gelap di sana yakni pemilik Lapindo. Bukan tidak mungkin, ketika memperjuangkan dana talangan, wakil rakyat seakan membela kepentingan korban padahal di balik itu sebenarnya Lapindo lah yang dibela.
Suara Merdeka, Kamis, 28 Juni 2007
Komentar Terbaru