Tajuk Pikiran Rakyat, Jumat, 15 September 2006
Apabila melihat pada besaran dana untuk memperbaiki infrastruktur yang rusak di Pangandaran, tampaknya mustahil Pemerintah Daerah Ciamis, mampu menanganinya sendiri.
GEGAP gempita orang berdarmawisata, kini lenyap dari kawasan wisata Pangandaran. Kawasan tersebut menjadi sunyi, kesepian, karena nyaris tak lagi didatangi pengunjung meski pada akhir pekan. Begitu kabar yang kita terima akhir-akhir ini. Salah satu primadona objek wisata Jawa Barat itu, sejak dilanda tsunami menimbulkan ketakutan pada orang yang ingin berlibur di sana. Gempa di tengah lautan, yang kemudian menimbulkan gelombang yang tumpah ke daratan membuat kerusakan luar biasa. Sebagaimana diungkapkan Ketua Bappeda Ciamis, dalam seminar sehari yang bertajuk “Bangkit Pangandaran dan Sekitarnya”, Rabu (13/9) di Pangandaran, untuk memperbaiki sarana kesehatan, lingkungan, dan fungsi kepariwisataan, pada tahap pertama setidaknya dibutuhkan dana Rp 118,2 miliar.
Apabila melihat pada besaran dana untuk memperbaiki infrastruktur yang rusak di Pangandaran, tampaknya mustahil Pemerintah Daerah Ciamis, mampu menanganinya sendiri. Ini tentu perlu perhatian semua pihak, tidak saja dari Pemerintah Provinsi Jabar, tetapi sekaligus pemerintah pusat harus turun tangan. Pasalnya, Pangandaran tidak bisa dipandang semata sebagai kawasan segaris pantai, akan tetapi daerah itu memiliki aspek lebih luas. Setidaknya, sebagai kawasan objek wisata banyak keterkaitan dengan perekonomian, ketenagakerjaan, dan tentu saja sebagai sumber pendapatan bagi daerah setempat.
Memang benar, kejadian yang menimpa Pangandaran bukanlah untuk ditangisi. Daerah itu harus segera bangkit. Bahkan, sesungguhnya ini sebuah kesempatan untuk menata Pangandaran sebagai kawasan wisata yang benar-benar memenuhi standar mutu yang baik. Hal-hal yang perlu perbaikan, tidak saja terhadap aspek pelayanan kepada pengunjung, akan tetapi juga lingkungan sekitar.
Khusus menyangkut perbaikan lingkungan objek wisata, di kita biasanya sangat sulit ditata. Kerap kali lahan di bibir pantai menjadi serbuan para pemilik uang. Mereka membeli lahan yang paling dekat ke laut, agar bisa mendirikan bangunan dengan mendapat panorama yang baik. Akibat yang terjadi, pemandangan ke laut lepas dari daratan menjadi terhalang. Ini bisa kita saksikkan seperti di objek wisata pantai Palabuanratu, Carita, atau Anyer.
Sementara itu, yang tidak kalah sulit dibenahi, adanya serbuan pedagang kaki lima (PKL). Mereka selalu mencoba menempati lahan-lahan di pantai agar selalu dekat dengan pengunjung. Tidak mengherankan apabila kawasan pantai pun menjadi kumuh. Guna membenahinya, di Pangandaran pun dibangun pasar khusus untuk merelokasi para PKL. Akan tetapi, itu semua jadi sia-sia dan PKL kembali ke pantai, hingga akhirnya muncul tsunami yang “mengusir” mereka.
Pascabencana ini, sekali lagi mari kita ambil hikmahnya. Salah satunya menata kawasan itu secara matang. Siapa yang menata, apakah tim rehabilitasi sebagaimana keinginan Gubernur Jabar, silakan saja. Hanya yang paling penting, tidak ada lagi bangunan yang terlalu dekat ke pantai. Atau sebagaimana dimintakan gubernur, bahwa di Pangandaran jangan ada pemukiman jaraknya kurang dari 200 meter dari pantai.
Sementara itu, selain menata kawasan objek wisata, yang harus segera diselesaikan adalah merelokasi korban bencana. Mereka jangan terlalu lama di pengungsian. Segera tempatkan di lokasi baru yang aman, sebab mereka pun harus segera menata hidup untuk ke depan, agar bisa bangkit bersama-sama kebangkitan kembali kawasan wisatanya.***
Komentar Terbaru