Republika, Kamis, 28 September 2006
Semburan lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur, yang berlangsung sejak 29 Mei hingga kini tak kunjung bisa dihentikan. Lumpur yang menyembur keluar dari ladang penambangan migas milik PT Lapindo Brantas Inc tersebut sudah berlangsung selama empat bulan. Awalnya ada 50 ribu meter kubik per hari material lumpur panas yang disemburkan, namun dalam dua pekan ini meningkat tajam hingga 126 ribu meter kubik per hari.
Areal yang sudah digenangi lumpur sudah mencapai 400 hektare. Sekitar 4 ribu penduduk sudah diungsikan. Ada tiga kecamatan yang tergenang lumpur, yaitu Porong, Jabung, dan Tanggulangin. Yang terparah adalah Porong. Hingga kini sudah tiga orang yang tewas, dengan sejumlah orang yang mengalami luka-luka. Ada 11 pabrik yang tertimbun, dengan tiap pabrik rata-rata mempekerjakan 5 ribu pegawai. Ada 3 ribu rumah yang sudah lenyap. Jalan tol yang sudah tergenang mencapai 2 km. Yang dikhawatirkan segera tergenang lagi adalah jalur rel kereta api lintas Jawa.
Entah sampai kapan semburan lumpur ini akan berakhir. Sejumlah ahli sudah mulai membuat analisis. Skenario paling buruk adalah luapan lumpur tersebut sama sekali tak bisa dihentikan. Ia akan berhenti sendiri hingga tak ada lagi daya semburan. Jika hal ini terjadi maka kita khawatir Sidoarjo akan hilang dari peta, tentu yang terdekat adalah hilangnya Porong dari peta. Tak hanya terendam lumpur tapi juga karena amblas akibat terciptanya ruang kosong di bawah tanah. Kita berharap skenario mengerikan ini tak sampai terjadi.
Pemerintah semula menyerahkan soal penanggulangan kejadian mengerikan ini ke pihak Lapindo. Namun kemudian, pemerintah mengambil alihnya. Walau dengan catatan semua biaya ditanggung Lapindo. Yang banyak didiskusikan saat ini adalah wacana soal pilihan untuk menghentikan luapan lumpur maupun wacana soal membuang lumpur ke laut atau membuat tanggul saja.
Wacana yang hilang dari publik adalah bagaimana tanggung jawab hukum Lapindo terhadap kejadian ini. Kita khawatir hilangnya wacana ini semata karena dekatnya penguasa dengan pemilik Lapindo. Jika ini yang terjadi maka ini adalah sebuah kejahatan kekuasaan yang telanjang dan pengabaian penderitaan rakyat. Bahwa pemerintah sekarang tak ubahnya penguasa-penguasa sebelumnya. Padahal, pemilik Lapindo sendiri sudah melakukan langkah-langkah taktis dan strategis dengan menjual sahamnya. Selain memiliki implikasi bisnis, penjualan ini juga berimplikasi hukum.
Adapun dampak sosial dan ekonomi kejadian ini sudah bisa dilihat. Hilangnya sebuah masyarakat, proses pemiskinan, rusaknya infrastruktur, proses produksi terhenti, gangguan psikologis, terganggunya jalur distribusi, proses belajar-mengajar yang rusak, dan seterusnya. Dan itu menyangkut satu kawasan dengan puluhan ribu orang. Sedangkan secara umum juga mengganggu masyarakat Jawa Timur. Jika satu pabrik terhenti, maka caranya mudah saja. Relokasi. Tapi jika seorang pemilik warung yang berdagang di perempatan jalan atau di pasar terganggu, tak bisa begitu saja kita mengubahnya. Dia harus membangun pelanggan baru, mungkin lokasi tak seberuntung sebelumnya. Demikian pula dengan hilangnya sebuah masyarakat, kita tak bisa begitu saja menggantikannya. Karena sebuah masyarakat adalah sebuah sistem. Di sana ada kehormatan, ada peran, ada status, ada diferensiasi, ada spesialisasi, ada tata nilai, ada adat, ada kelompok. Inilah dampak paling parah dari hancurnya sebuah masyarakat.
Pada titik inilah kita harus melihat kasus lumpur Lapindo ini. Agar kekuasaan memiliki tanggung jawab, agar penguasa memiliki kepekaan, agar setiap orang bisa berempati. Adanya negara adalah agar kita tidak menjadi serigala bagi yang lainnya. Agar semua tidak melawan semua. Namun, tentu kita juga tak menghendaki sistem negara absolut yang membuat negara bertindak semaunya sesuai kepentingannya. Kita mengikuti negara modern, bahwa negara itu berdasarkan hukum dan konstitusi, yang semuanya berdasarkan kontrak sosial. Semuanya dikembalikan kepada kepentingan rakyat dan kepentingan konstitusi. Bukan kepentingan yang punya kuasa atau yang punya uang.
Kita menyaksikan cara pemerintah menyikapi kasus lumpur Lapindo ini lebih mempertimbangkan aspek kekuasaan dan ‘kepengusahaan’. Di sana tak ada 4 ribu jiwa yang kini menjadi pengungsi, yang menjadi orang miskin baru.
Komentar Terbaru