Jawapos, Jumat, 29 Sept 2006
Lawatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wapres Jusuf Kalla (JK) ke luar negeri dipersoalkan sejumlah anggota dewan. Mereka menilai kegiatan tersebut tidak mendatangkan manfaat yang signifikan.
Yang lebih dipersoalkan lagi, lawatan SBY dan Kalla kali ini cukup berimpitan. Begitu SBY tiba di tanah air pada 19 September, tiga hari berikutnya (22 September) Kalla berangkat ke AS, Kanada, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi.
Dalam kasus keberangkatan SBY ke Finlandia dan Kuba, jelas kritik tersebut kurang pas. Sebab, di dua tempat itu, SBY menghadiri acara resmi yang sangat layak dihadiri. Di Finlandia, presiden menghadiri KTT VI ASEM, sedangkan di Kuba, SBY menghadiri KTT Gerakan Nonblok.
Yang agak pas adalah ketika kritik itu dialamatkan kepada kedatangan SBY ke Norwegia. Sebab, di sana, acara resmi kenegaraan tidak ada. Selain melakukan pertemuan bilateral, SBY “hanya” menyampaikan kuliah di Institute Nobel sebagai salah satu nomine penerima hadiah nobel tahun ini.
Adapun kedatangan Kalla ke empat negara tersebut adalah untuk menggaet investor. Mungkin, dalam konteks ini, kritik DPR tersebut bisa diberi tempat yang sewajarnya.
Pada dasarnya, seorang presiden, wakil presiden, atau pejabat negara seperti DPR, melakukan lawatan ke luar negeri adalah hal yang lumrah. Di era global saat ini, sangat tidak tepat bila seorang kepala negara atau pejabat negara tidak memiliki kontak yang luas dengan pemimpin negara lain.
Namun, dalam konteks Indonesia, faktor efektivitas dan efisiensi memang patut dijadikan pertimbangan. Sebab, dengan keterbatasan dana yang ada, bangsa ini memang harus benar-benar mengalokasikan dana secara tepat. Harus bisa ngirit!
Jika sekiranya tidak membawa banyak manfaat, lebih baik sebuah lawatan tidak diadakan. Seorang pejabat negara harus memiliki pertimbangan yang arif dan jujur soal perlu tidaknya sebuah lawatan dilakukan.
Lawatan layak dilakukan jika memenuhi asas manfaat, efisiensi, dan efektivitas. Lawatan SBY ke Finlandia dan Kuba jelas memenuhi faktor manfaat. Sangat tidak tepat, gara-gara berpikir soal keterbatasan dana, dua agenda internasional itu tidak dihadiri.
Hanya, dari faktor efisiensi dan efektivitas, agaknya, lawatan itu perlu dikritisi. Sebab, dalam lawatan tersebut, SBY disertai rombongan yang cukup besar, 88 orang, yang terdiri atas para menteri, istri menteri, anggota DPD, DPR, ajudan, Paspampres, staf istana, wartawan, serta staf pribadi SBY dan Ny Ani Susilo Bambang Yudhoyono.
Untuk masa mendatang, jumlah tersebut mungkin bisa diefisiensikan lagi. Misalnya, ajudan yang mendampingi SBY dan Ny Ani tidak 8 orang (masing-masing 4 orang), tapi cukup separonya. Juru bicara yang ikut tidak perlu dua, cukup satu saja. Para jubir juga tidak perlu membawa staf seperti dalam lawatan yang lalu.
SBY dan Ny Ani juga tidak perlu membawa fotografer pribadi. Sebab, dari pihak istana, sudah ada dua fotografer yang siap mengabadikan semua peristiwa. Demikian pula, jumlah wartawan yang diundang untuk mengikuti lawatan tersebut perlu diperamping.
Dengan perampingan jumlah rombongan itu, tentu keuangan negara bisa lebih dihemat. Bukankah tujuan lawatan tidak akan terganggu jika jumlah rombongan lebih ramping? (*)
Komentar Terbaru